Keberagamaan Mayoritas dan Minoritas

March 24, 2010

Oleh: A. Mustofa Bisri ( http://www.gusmus.net )

Saya pernah diterbangkan takdir keliling beberapa negara Eropa dan Jepang. Tak perlu dijelaskan lagi bahwa mayoritas penduduk negara-negara itu adalah non muslim. Kebetulan, saat saya ke negara-negara itu bertepatan pada bulan Ramadan.

Pikiran kampung saya pada waktu akan berangkat pertama kali; saya akan ke negara ‘kafir’; bagaimana nanti salat saya, puasa saya, makan saya, dan seterusnya. Begitu saya tiba di Frankfurt, lalu ke Hamburg , kemudian ke beberapa negara lainnya di daratan Eropa ini, saya kaget. Ternyata banyak sekali ajaran Rasulullah SAW yang berlaku di negeri mayoritas non muslim ini. Pastilah mereka tidak dibiasakan disiplin azan dan salat pada waktunya, tapi kelihatan sekali disiplin mereka dalam kehidupan. Tidak saya jumpai ada tulisan “An-nazhafatu minal Imaan” (Kebersihan adalah bagian dari iman), seperti banyak kita jumpai di pasar-pasar dan terminal-terminal di kita. Namun, kota-kota begitu bersih. Mereka menghormati hukum, menghormati manusia, menghargai perbedaan. (ketika diundang di Universitas Hamburg untuk berdiskusi, saya dihormati sebagai tamu dan ditunjukkan buku-buku karangan beberapa pengarang kita di perpustakaan mereka, seolah-olah mereka memang ingin menyenangkan saya, tamunya ini).

Di sisi lain, saya mendapat informasi bahwa gereja-gereja di negeri-negeri ini sudah tidak begitu laku. Terutama kalangan muda mereka sudah enggan ke gereja di hari Minggu. Bahkan banyak gereja diiklankan untuk dijual. Di Den Hag, ketika saya diundang kawan-kawan Indonesia untuk buka puasa dan teraweh bersama di ‘mesjid’ mereka, saya diberitahu bahwa ‘mesjid’ mereka itu dulunya adalah gereja yang mereka beli untuk kegiatan-kegiatan agama Islam.

Di Jepang apa yang saya saksikan kurang lebih sama. Maksud saya soal disiplin, kebersihan, menghormati hukum, menghormati manusia, dan sebagainya. Bahkan, begitu datang di bandara Narita dan bertemu pertama kali dengan petugas imigrasi, saya betul-betul merasa dihargai sebagai tamu. Saya sempat terbayang dan membandingakan dengan petugas imigrasi muslim Saudi Arabia. Saya sering ketemu dengan petugas-petugas imigrasi yang menyambut pendatang di bandara King Abdul Aziz di Jeddah dan belum pernah menjumpai sekedar wajah yang ramah. Sering kali saya harus menunggu urusan hingga jam-jaman, padahal –dengan keinginan membantu memperlancar dan mempercepat urusan—saya selalu menyelipkan boarding pass atau kertas apa saja di halaman passport yang ada dokumen visanya. Tapi, tetap saja saya harus menunggu lama.

Di bandara Narita, hal yang sama saya lakukan. Dan apa sikap petugas imigrasi yang melayani saya? Petugas yang ramah langsung membuka halaman yang saya selip-tandai dan tahu maksud saya, terbukti dia langsung mengucapkan “Arigatou gozaimashita!” (Terimakasih)

Di negeri-negeri asing itu, barulah ketika bertemu komunitas bangsa sendiri, saya merasakan suasana yang hampir sama dengan di negeri kita. Meski tidak seheboh di negeri kita, saya menyaksikan kegiatan ritual Islami diikuti dengan semangat yang kurang lebih sama. Tapi dengan kekhusyukan yang menurut saya lebih terasa. Tentu saja, mereka tidak bisa melakukan kegiatan keagamaan dengan eforia yang berlebihan seperti di Tanah Air. Satu dan lain hal karena mereka minoritas.

Apa yang saya pikirkan kemudian ialah seandainya kegiatan ritual kaum Nasrani dan Sinto itu seheboh kegiatan ritual kaum mulimin di Indonesia terutama di bulan Ramadan, kira-kira bagaimana ‘nasib’ saudara-saudara kita kaum muslimin yang minoritas di sana? Mereka tentu saja tidak bisa berbuat apa-apa sebagaimana kaum non muslim yang minoritas disini sampai saat ini. Paling-paling mengusap dada menyabarkan diri. Untunglah, seperti yang saya saksikan dan ceritakan, kaum non-muslim disana itu –entah sudah sejak kapan– membudayakan ajaran Rasulullah SAW dalam bidang sosial- kemasyarakatan.

Dimana-mana pastilah ada pengecualiaan. Di negeri-negeri yang tatanan dan penegakan hukumnya, penghormatan kepada manusianya, disiplinnya, tasamuh atau toleransinya nya, dan lain sebagainya berjalan sebagaimana diajarkan dan dicontohkan Nabi Muhammad SAW itu, ada saja oknum-oknum yang syadzdz, berbeda dengan yang lain.

Ada saja yang tak dapat mengekang rasa suprioritasnya sebagai kelompok mayoritas. Apalagi, bila yang bersangkutan mendengar berita tentang kondisi kaum mereka yang minoritas di negeri-negeri lain.

Lalu saya pun teringat ‘negara Islam’ di Madinah pada zaman Rasulullah SAW –pembawa agama ini—yang tentu saja mayoritas penduduknya kaum muslimin. Teringat bagaimana Rasulullah SAW dan para sahabatnya menghargai dan menghormati hak-hak penduduk yang beragama lain, hingga lahir dokumen Watsiiqah Madinah yang terkenal itu.

Alkhairu kulluhu fittibaa-‘ir Rasuul shallaLlahu ‘alaihi wasallam. Yang terbaik dan yang paling baik adalah mengikuti jejak Rasulullah SAW. Bagaimana kalau kita yang mayoritas di negeri ini, mencontoh Rasulullah SAW dan memberi contoh pihak-pihak lain, kaitannya dengan sikap kita terhadap kaum minoritas?

Alangkah indahnya, alangkah mulianya, bukan?!
(Tulisan ini juga dimuat dalam Majalah MataAir edisi ke-6 28 Oktober -28 November 2007, “Tanggap Darurat Islamisasi di Eropa”)

Leave a comment